

Buku-buku
yang diluncurkan terdiri dari enam buku puisi ('Ada Berita Apa Hari Ini', 'Den Sastro?',
Ayat-Ayat Api', 'Duka-mu Abadi', 'Kolam', 'Namaku Sita', dan 'Sutradara itu
Menghapus Dialog Kita') dan satu
novel (Pingkan Melipat Jarak). Jujur saja mencari buku-buku kumpulan puisi ini
sangat sulit sekali. Muter-muter di deretan took buku stadion tidak nemu-nemu
juga. Bersyukur saya kini sudah mudah mendapatkannya. Nah, ngomong-ngomong, ‘Pingkan
Melipat Jarak’ ini adalah satu-satunya buku baru yang diluncurkan sekaligus
bagian dari trilogi novel ‘Hujan Bulan Juni’ yang rencananya akan di film-kan
di tahun ini. Tidak sabar saya.
Pak Sapardi takut menjadi pikun.

Ayat-ayat Api
Mengawali bincang-bincang sore itu dibahaslah
sedikit tentang salah satu puisi dalam buku Ayat-Ayat Api halaman 28 yang
berjudul “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”. Ketika itu banyak mahasiswa UI,
yang di Makassar yang turun ke jalan berdemo, menumpahkan protes pada rezim
Suharto dan ada yang mendapat peluru nyasar. Pikir beliau “Apakah tidak perlu
saya tulis?” sementara ketegangan politik begitu menggemparkan. Akhirnya Pak
Sapardi menuliskannya. puisinya sebagai berikut:
TENTANG
MAHASISWA YANG MATI, 1996
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya,
hanya dari koran, tidak begitu jelas
memang,
kenapanya atau bagaimana (bukanlah
semuanya
demikian juga?) tetapi rasanya cukup
alasan
untuk mencintainya. Ia bukan
mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja
ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk
mencatat,
atau diam saja kalau ditanya,
atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu
suka
membaca sehingga semua guru jadi asing
baginya.
Dan tiba-tiba saja, begitu sasja, hari itu
ia mati;
begitu berita yang ada di koran pagi ini —
entah kenapa aku mencintainya
karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga
membuat hubungan antara yang hidup
dan yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin disebut di koran,
tapi aku tak ingat lagi,
dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia
telah
mati hari itu — dan ada sasja yang jadi
ribut.
Di negeri orang mati, mungkin ia sempat
merasa was-was akan nasib kita
yang telah meributkan mahasiswa mati.
Juga
Puisi panjang tentang Marsinah, dituliskan pada masa yang sama. Berhubung
beliau bukan orang yang nggak suka marah, jadilah puisi yang khas beliau tapi
tidak lepas dari rasa kekhawatiran beliau tentang pergolakan masyarakat saat
itu.


Satu
persatu buku dibahas sekilas, dan sampailah pada saat yang berbahagia, yakni
sesi Tanya jawab. Banyak yang mengangkat tangan tinggi-tinggi,
menggoyang-goyangkannya dengan semangat, bahkan ada yang dibantu pacarnya agar
dipilih untuk maju mengajukan pertanyaan. Ada salah satu yang saya anggap
paling menarik dari empat pertanyaan yang diajukan yaitu pertanyaan dari Mas
Michael (maaf klo salah eja hurufnya) dari Jogja. Dia bertanya mengenai tensi
penulisan dalam ‘Hujan Bulan Juni’ dan ‘Pingkan Melipat Jarak’ kok berbeda.
Dijawablah oleh Pak Sapardi bahwa memang sengaja dibedakan. Menganalogikan dengan
dosa plagiarism dalam penulisan ilmiah, menyamakan tensi dan gejolak batin
untuk setiap tulisannya adalah haram baginya. Bisa neg, katanya.
Pertanyaan
selanjutnya adalah tentang harapan bagi Pak Sapardi. Beliau berkelakar bahwa
dia bukan lagi lansia (lanjut usia) tapi sudah sialan (usia lanjut). Sudah
lebih dari cukup merasakan hidup. Mengenai harapan ini beliau menyinggung soal
ide takhayul angka tujuh yang sempat saya singgung di awal. Bahwa anak muda sekarang
malah percaya takhayul padahal yang tua (beliau sendiri) tidak percaya. Harapan
yang sekarang didoakannya adalah agar para pembaca mendapatkan manfaat dari
tulisan-tulisan beliau.

Demikian
reportase yang bisa saya ceritakan disini, terkhusus bagi teman-teman yang
belum berkesempatan hadir dalam event ini. Semoga lain kali kita bisa datang
bersama-sama. Tentu kita doakan Pak Sapardi sehat selalu, tetap aktif dan produktif
menelurkan karya-karya selanjutnya. Terima kasih juga untuk Gramedia Pandanaran
yang mengadakan acara ini. Kami sungguh bersyukur.