Minggu, 09 April 2017

SERBA TUJUHNYA SAPARDI DJOKO DAMONO

Belum lama setelah peluncuran tujuh buku Sapardi Djoko Damono tanggal 22 Maret 2017, dua hari setelah hari ulang tahun beliau, Gramedia mengadakan acara bincang sore bersama Pak Sapardi di Semarang. Bersama istrinya, Bu Wardiningsih, Beliau menyapa pengunjung Gamedia Pandanaran Semarang yang datang dari berbagai daerah untuk ikut bertemu dengan laki-laki yang aktif di dunia sastra sejak 1969 ini. 
Acara tersebut dilaksanakan kemarin, hari Jumat tanggal 7 April 2017. Angkanya cantik. Ultah ke 77 tahun, terbit tujuh buku, diomongin pas tanggal tujuh tahun dua ribu tujuh belas. Kenapa tidak sekalian dilaksanakan pada bulan Juli? Terlalu lama, ini masih hangat-hangatnya beliau berulang tahun. Terlepas dari pengakuan Pak Sapardi tentang takhayul keberuntungan angka tujuh, beliau tetap senang karena bukunya yang dahulu sangat terbatas jumlah cetakannya, kini bisa lebih luas lagi persebarannya.


Buku-buku yang diluncurkan terdiri dari enam buku puisi ('Ada Berita Apa Hari Ini', 'Den Sastro?', Ayat-Ayat Api', 'Duka-mu Abadi', 'Kolam', 'Namaku Sita', dan 'Sutradara itu Menghapus Dialog Kita') dan satu novel (Pingkan Melipat Jarak). Jujur saja mencari buku-buku kumpulan puisi ini sangat sulit sekali. Muter-muter di deretan took buku stadion tidak nemu-nemu juga. Bersyukur saya kini sudah mudah mendapatkannya. Nah, ngomong-ngomong, ‘Pingkan Melipat Jarak’ ini adalah satu-satunya buku baru yang diluncurkan sekaligus bagian dari trilogi novel ‘Hujan Bulan Juni’ yang rencananya akan di film-kan di tahun ini. Tidak sabar saya.

Pak Sapardi takut menjadi pikun.

Seperti kita tahu, pikun atau alzheimer itu tidak bisa sembuh dan sangat membatasi produktivitas pikir. “Salah satu cara untuk menghindari pikun bagi saya ya menulis, nggak ada lagi” kata Pak Sapardi yang mengaku takut pada kepikunan. Beliau juga mengatakan bahwa beliau suka membaca, dan setiap hari memaksa diri untuk menulis. Menulis apa saja, puisi, cerpen, apapun dengan harapan terhindar dari pikun.

Ayat-ayat Api
 Mengawali bincang-bincang sore itu dibahaslah sedikit tentang salah satu puisi dalam buku Ayat-Ayat Api halaman 28 yang berjudul “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”. Ketika itu banyak mahasiswa UI, yang di Makassar yang turun ke jalan berdemo, menumpahkan protes pada rezim Suharto dan ada yang mendapat peluru nyasar. Pikir beliau “Apakah tidak perlu saya tulis?” sementara ketegangan politik begitu menggemparkan. Akhirnya Pak Sapardi menuliskannya. puisinya sebagai berikut:



TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1996

Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya,
hanya dari koran, tidak begitu jelas memang,
kenapanya atau bagaimana (bukanlah semuanya
demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan
untuk mencintainya. Ia bukan
mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja
ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat,
atau diam saja kalau ditanya,
atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka
membaca sehingga semua guru jadi asing baginya.
Dan tiba-tiba saja, begitu sasja, hari itu ia mati;
begitu berita yang ada di koran pagi ini —
entah kenapa aku mencintainya
karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga
membuat hubungan antara yang hidup
dan yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin disebut di koran,
tapi aku tak ingat lagi,
dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah
mati hari itu — dan ada sasja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati, mungkin ia sempat
merasa was-was akan nasib kita
yang telah meributkan mahasiswa mati.

Juga Puisi panjang tentang Marsinah, dituliskan pada masa yang sama. Berhubung beliau bukan orang yang nggak suka marah, jadilah puisi yang khas beliau tapi tidak lepas dari rasa kekhawatiran beliau tentang pergolakan masyarakat saat itu.

Satu persatu buku dibahas sekilas, dan sampailah pada saat yang berbahagia, yakni sesi Tanya jawab. Banyak yang mengangkat tangan tinggi-tinggi, menggoyang-goyangkannya dengan semangat, bahkan ada yang dibantu pacarnya agar dipilih untuk maju mengajukan pertanyaan. Ada salah satu yang saya anggap paling menarik dari empat pertanyaan yang diajukan yaitu pertanyaan dari Mas Michael (maaf klo salah eja hurufnya) dari Jogja. Dia bertanya mengenai tensi penulisan dalam ‘Hujan Bulan Juni’ dan ‘Pingkan Melipat Jarak’ kok berbeda. Dijawablah oleh Pak Sapardi bahwa memang sengaja dibedakan. Menganalogikan dengan dosa plagiarism dalam penulisan ilmiah, menyamakan tensi dan gejolak batin untuk setiap tulisannya adalah haram baginya. Bisa neg, katanya.

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang harapan bagi Pak Sapardi. Beliau berkelakar bahwa dia bukan lagi lansia (lanjut usia) tapi sudah sialan (usia lanjut). Sudah lebih dari cukup merasakan hidup. Mengenai harapan ini beliau menyinggung soal ide takhayul angka tujuh yang sempat saya singgung di awal. Bahwa anak muda sekarang malah percaya takhayul padahal yang tua (beliau sendiri) tidak percaya. Harapan yang sekarang didoakannya adalah agar para pembaca mendapatkan manfaat dari tulisan-tulisan beliau.

Mengakhiri bincang-bincang sore itu diadakan sesi book signing tapi tanpa sesi. Sayang sekali. Padahal jarang ada event yang mengundang beliau sebagai bintang tamu di Semarang. Banyak peserta yang kecewa, termasuk seorang mas-mas yang sengaja datang dari Solo dan hanya bisa memandang hambar ke arah menghilangnya Pak Sapardi dan Istri dari riuh acara. “Nggak ada sesi foto ya mbak?” tanyanya. “karena sudah sepuh mungkin mas, capek” jawabku sekenanya. “kemarin di Balai Soedjatmoko ada Ahmad Tohari bisa foto”. “Ouh gitu ya Mas, barangkali beda kepentingan to Mas, kalau di sana mungkin bisa lebih private kan” jawabku lagi dan dibalas saja dengan iya yang lemas. “Sabar ya Mas, semoga di buku selanjutnya bisa lebih enak lagi acaranya”. “Iya mbak, monggo  mbak”, dia berlalu. Kasihan, jauh-jauh dari Solo, nggak dapat foto bareng. Setidaknya meski harapan kami sama-sama besar, effort yang ditempuh dia tentu lebih dari saya untuk datang ke Semarang.

Demikian reportase yang bisa saya ceritakan disini, terkhusus bagi teman-teman yang belum berkesempatan hadir dalam event ini. Semoga lain kali kita bisa datang bersama-sama. Tentu kita doakan Pak Sapardi sehat selalu, tetap aktif dan produktif menelurkan karya-karya selanjutnya. Terima kasih juga untuk Gramedia Pandanaran yang mengadakan acara ini. Kami sungguh bersyukur.